Cerita Pendek {Mawar Biru}
UDARA seperti membeku di Adelweis Room, sebuah
kamar rawat inap, di RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Dan, di tempat tidur yang
serba putih, Erika terbaring beku dalam waktu yang juga membeku. Ia tidak
berani menghitung lagi berapa kali jarum jam di ruangan itu melewati angka dua
belas, makin mendekati ajal yang bakal menjemputnya.
Dokter telah memprediksi usianya tinggal sekitar
sebulan karena leukimia yang akut, dan satu-satunya yang ia tunggu dari
kekasihnya adalah sekuntum mawar biru. Ya, mawar biru. Bukan mawar merah atau
putih. Dan, hanya sekuntum, bukan seikat atau sekeranjang.
Tapi, adakah mawar berwarna biru? Sang kekasih,
Riyan, sebenarnya tidak yakin. Yang pernah ia lihat adalah mawar merah, putih,
atau kuning. Ketiganya tumbuh dan berbunga lebat di halaman rumahnya. Tapi,
mawar biru? Ia tidak yakin. Bunga berwarna biru yang pernah ia lihat hanya
anggrek bulan dan anyelir.
Itupun bukan persis biru, tapi keunguan.
“Apa kau yakin ada mawar berwarna biru, Sayang?”
“Aku yakin. Aku pernah melihatnya.”
“Bukan dalam mimpi?”
“Bukan. Di sebuah taman. Tapi, aku lupa
taman itu. Rasa-rasanya di Jakarta.”
Riyan terdiam. Dari bola matanya terpancar
keraguan, dan itu ditangkap oleh Erika.
“Carilah, Sayang. Jangan ragu-ragu. Hanya
itu yang aku pinta darimu, sebagai permintaan terakhirku. Carilah dengan rasa
cinta.” Erika berusaha meyakinkan.
Maka, dengan rasa cinta, berangkatlah Riyan
mencari sekuntum mawar biru permintaan kekasihnya itu. Ia langsung menuju
taman-taman kota Jakarta, dan menyusuri seluruh sudutnya. Tidak menemukannya di
sana, ia pun menyusuri semua taman milik para penjual tanaman hias dan toko
bunga. Bahkan ia juga keluar masuk kampung dan komplek perumahan serta real
estate , memeriksa tiap halaman rumah dan taman-taman di sana.
Berhari-hari ia bertanya-tanya ke sana kemari, mencari mawar berwarna biru.
“Bunga mawar berwarna biru adanya di mana
ya? Aku sedang membutuhkannya!” tanyanya pada seorang mahasiswa IPB, kawan
karibnya.
“Ah, ada-ada saja kamu. Biar kamu cari
sampai ke ujung dunia pun enggak bakal ada.”
“Tapi, Erica pernah melihatnya.”
“Bunga kertas kali! Sahut sahabat
karibnya.“
“Jangan bercanda! Ini serius. Usia dia
tinggal dua minggu lagi. Hanya sekuntum mawar biru yang dia minta dariku untuk
ia bawa mati.”
“Kalau memang tidak ada harus bilang
bagaimana?”
Riyan lemas mendengar jawaban itu. Ia sadar,
siapa pun tidak akan dapat menemukan sesuatu yang tidak pernah ada, kecuali
jika Tuhan tiba-tiba menciptakannya. Tapi bagaimana ia harus meyakinkan Erika
bahwa mawar itu memang tidak ada, selain dalam mimpi. Jangan-jangan ia memang
melihatnya hanya dalam mimpi?
Riyan duduk tercenung di bangku taman, di salah
satu sudut Taman Monas. Ia menyapukan lagi pandangannya ke seluruh sudut taman
itu – pekerjaan yang sudah dia ulang-ulang sampai bosan. Ia masih berharap
dapat menemukan mawar biru di sana, atau sebuah keajaiban yang bisa memunculkan
sekuntum mawar biru di tengah hamparan rumput taman itu. “Bukankah Tuhan
memiliki kekuatan kun fayakun ? Kalau Tuhan berkata ‘jadi!' maka
‘jadilah'. Ya, kenapa aku tidak berdoa, memohon padanya saja?” pikirnya.
“Ya Allah, dengan kekuatan kun fa
yakun- Mu , mekarkanlah sekuntum mawar biru di depanku saat ini
juga,” teriak Riyan tiba-tiba, sambil berdiri, menadahkan tangan dan mendongak
ke langit.
Tak lama kemudian ada seorang lelaki tua gembel,
dengan kaus robek-robek dan celana lusuh, mendekatinya dan duduk di sebelahnya.
Bau badan lelaki tua itu langsung menusuk hidung Riyan dan membuatnya mau
muntah. Gembel ini pasti tak pernah mandi, pikirnya. Riyan mengangkat
pantatnya, bermaksud segera pindah ke bangku lain. Tapi, orang tua itu
tiba-tiba bersuara parau:
“Maaf, Nak. Bolehkah saya minta tolong?”
“Minta tolong apa, Pak?”
“Rumah Bapak di seberang sana . Bapak tidak
berani menyeberang sendiri. Takut tersesat. Ugh ugh ugh.”
Orang tua, yang ternyata tuna netra, itu
batuk-batuk dan meludah sembarangan. Riyan semakin jijik saja.
“Kota ini betul-betul seperti hutan, menyesatkan.
Banyak binatang buasnya. Harimau, Buaya, Badak, Ular berbisa, Tikus busuk,
Kadal, Bunglon, Kecoa, semua ada di sini. Kau harus hati-hati, Nak, agar tidak
jadi korban mereka.”
“Bapak mau pulang sekarang?”
“Ya ya, Nak. Diantar sampai rumah ya?”
Riyan pusing juga. Mencari bunga mawar biru belum
ketemu, tiba-tiba kini ada orang tua gembel minta diantar pulang. Sampai
rumahnya pula. Dan selama itu ia harus menahan muntah karena bau lelaki tua
itu. Meski hatinya agak berat, Riyan terpaksa menuntun lelaki tuna netra itu.
Ia harus sering-sering menahan nafas untuk menolak bau tubuh lelaki tua itu.
“Bapak tinggal di kampung apa?”
“Di kampung seberang.”
“Aduh…. Bapak tadi naik apa ke sini?”
“Kereta api listrik. Tadi Bapak naik dari
Bogor , mau pulang, tapi kebablasan sampai sini. Jadi, tolong diantar ya, Nak.
Bapak takut kebablasan lagi.”
Riyan terpaksa mengantar orang tua tunanetra itu,
dengan naik KRL dari stasiun Gambir. Begitu naik ke dalam gerbong, lelaki
gembel itu langsung mempraktikkan profesinya, mengemis, dan Riyan dipaksa
menuntunnya dari penumpang ke penumpang. Maka, jadilah dia pengemis bersama
tunanetra itu, dengan menahan rasa malu dan cemas kalau-kalau kepergok kawannya
“Maaf ya, Nak. Bapak hanya bisa meminta-minta
seperti ini untuk menyambung hidup. Tapi, Bapak rasa ini lebih baik dari pada
jadi maling atau koruptor. Dulu Bapak pernah jadi tukang pijat. Tapi sekarang
tidak laku lagi, karena sudah terlalu tua,” kilah lelaki gembel itu.
TURUN dari KRL di Stasiun Lenteng Agung, hari
sudah sore. Lelaki tua itu mengajak Riyan menyeberang ke arah timur, kemudian
mengajak menyusur sebuah gang. Tiap ditanya rumahnya di sebelah mana, di gang
apa, RT berapa dan RW berapa, lelaki tua itu selalu menunjuk ke timur, hingga
keduanya sampai di tepi Kali Ciliwung. Pada saat itulah, tanpa sengaja, Norhuda
melihat segerumbul tanaman dengan bunga-bunga berwarna biru tumbuh di pinggir
sebuah hamparan rerumputan.
“Sebentar, Pak, saya membutuhkan bunga itu.”
Riyan bergegas ke tanaman bunga itu, dan betul,
bunga mawar biru, yang tumbuh liar di tepi hamparan rerumputan di pinggir jalan
setapak yang menyusur lereng Kali Ciliwung. Dia langsung berjongkok dan dengan
penuh suka cita memetik beberapa kuntum, serta mencium-ciumnya dengan penuh
gairah. Harum bunga itu begitu menyengat, seperti bau parfum yang mahal. Saat
itulah, tiba-tiba terdengar suara parau lelaki tua yang tadi bersamanya dari
arah belakangnya:
“Nak, ini uangmu. Saya taruh di sini ya. Saya
pamit dulu.”
Riyan langsung berpaling ke arah suara itu. Tapi
tak ada siapa-siapa, kecuali sebuah kantong kain lusuh teronggok persis di
belakangnya. Dengan matanya, Riyan mencari-cari lelaki tua itu di tiap sudut
jalan dan tepi kali, tapi tidak menemukannya. Aneh, lelaki itu raib begitu
saja, pikirnya.
Riyan pun merasa sedikit takut. Pikirannya
menebak-nebak siapa lelaki gembel yang membawanya ke tempat itu dan raib begitu
saja. Malaikatkah dia? Jin? Atau Nabi Hidir? Ia pernah mendengar kisah tentang
Nabi Hidir yang konon hidup di sepanjang sungai dan suka menyamar menjadi
lelaki gembel. Norhuda merinding memikirkannya.
SETELAH mawar biru ada di tangannya, satu-satunya
yang terpikir oleh Norhuda adalah segera membawanya kepada kekasihnya, Erika,
yang sedang sekarat di RS Fatmawati. Ia sengaja memilih taksi untuk meluncur
cepat ke sana .
Di Adelweis Room, Erika sudah koma. Tangannya
diinfus darah merah, hidungnya ditutup masker oksigen. Matanya terpejam
dengan rona wajah pucat pasi. Ayah dan ibu sang gadis duduk di dekatnya dengan
wajah cemas.
Dengan perasaan cemas pula Riyan mendekati Erika
dan berbisik di telinganya, “Erika, kau dengar aku. Aku sudah menemukan mawar
biru yang kau tunggu. Ini aku bawakan untukmu.”
Tiba-tiba gadis itu membuka matanya, dan
pelan-pelan tangannya bergerak, membuka masker oksigen dari hidungnya.
“Mana bunga itu, Sayang,” katanya lirih.
“Ini.”
Dengan tangan kanannya Novia meraih bunga itu,
lalu menempelkan ke hidungnya dan menyedot harumnya dengan penuh gairah.
Pelan-pelan rona wajahnya menjadi segar.
“Bunga ini akan menyembuhkanku. Ini bunga yang
kulihat dalam mimpi. Ini pasti bunga dari surga. Syukurlah, kau dapat
menemukannya. Aku akan memakannya.”
Erika benar-benar memakan bunga itu, helai demi
helai kelopaknya. Sesaat kemudian, dengan bibir menyunggingkan senyum,
pelan-pelan ia memejamkan matanya. Ia tertidur dengan mendekap sekuntum mawar
biru yang tersisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar