Pernah dengar S.Hum. jadi dokter? Pernah kenal S.Sos. yang jadi pengacara? Pernah lihat S.H. jadi insinyur? Sama, saya juga belum pernah. Tapi, berapa banyak S.T., S.Si, S.Psi. dan es es es lainnya yang kita temui hampir setiap hari dalam sekitar 12 tahun masa sekolah kita? Berapa banyak so-called ahli keuangan, bisnis dan pertanian yang bertanggung jawab atas momen-momen tak terlupakan, kebanyakan buruk tapi ada juga yang baik dan luar biasa, di kelas saat kita memakai celana (karena saya pakai celana) merah – biru – abu-abu dalam hidup kita? Berapa banyak calon astronot, pustakawan, sejarawan, dan seniman GAGAL yang akhirnya harus terpaksa berubah haluan jadi seorang GURU di sekolah-sekolah negara kita tercinta Indonesia?
Sepanjang pengamatan dan pengalaman saya, jumlah mereka tidak
sedikit. Lalu, memangnya kenapa? Bukannya justru keren ketika para guru kita
datang dari berbagai latar belakang yang berbeda agar bisa memberi warna
tersendiri dalam kelas mereka? Keren kan kalau kita bisa bilang “guru aku
dulu 10 tahun kerja di bank loh, tapi semenjak suaminya pindah kerja beliau
mengajar di sini” atau “waktu SMP aku diajar matematika sama mantan
atlet panahan dong”. Maaf, tapi menurut saya itu tidak keren. Tanpa
mengurangi rasa hormat saya terhadap profesi manapun dan atau terhadap
guru-guru hebat yang ber-S.-bukan-Pd., saya hanya ingin mengatakan bahwa
profesi guru di Indonesia masih dipandang sejentik ujung mata.
Tidak, saya tidak ingin membicarakan
(apalagi berdebat) tentang sistem pendidikan di Indonesia dengan segala polemik
dan kemelutnya. Saya masih sangat jauh dari pantas untuk berargumen tentang hal
itu. Yang ingin saya tekankan di sini adalah bahwa siapa saja bisa menjadi
guru, baik dengan senang maupun terpaksa. Tidak ada ekslusifitas dalam
keprofesian guru yang menstandarkan kualifikasi apa saja yang dibutuhkan untuk
menjadi seorang guru. Meskipun kita sudah memiliki UU yang mengatur tentang hal
itu, tetap saja kebanyakan kepala sekolah akan memilih sarjana bergelar keren
lulusan universitas ternama untuk mengajar anak-anak yang dititipkan untuk
dididik di sekolah mereka.
Bayangkan saja, orang-orang pintar dalam bidangnya, kecuali dalam mendidik, ditugaskan untuk mendidik! Lucunya, tetap saja para orang tua mengeluh tentang betapa tak becusnya sekolah dalam mendidik anak mereka. Ya jelaslah tak becus, wong para gurunya kebanyakan dikuliahkan untuk menjadi pintar, bukan untuk memintarkan orang lain. Para guru-terpaksa ini, kebanyakan, tidak memahami metode-metode mengajar, apalagi mendidik. Yang mereka tahu adalah berbicara tentang ilmu yang mereka (pikir mereka) kuasai dan berharap semoga murid-murid yang mendengarkan dapat memahami ceramah mereka. Delivery matter and content matter are two very distinguish things, guys!
Bayangkan saja, orang-orang pintar dalam bidangnya, kecuali dalam mendidik, ditugaskan untuk mendidik! Lucunya, tetap saja para orang tua mengeluh tentang betapa tak becusnya sekolah dalam mendidik anak mereka. Ya jelaslah tak becus, wong para gurunya kebanyakan dikuliahkan untuk menjadi pintar, bukan untuk memintarkan orang lain. Para guru-terpaksa ini, kebanyakan, tidak memahami metode-metode mengajar, apalagi mendidik. Yang mereka tahu adalah berbicara tentang ilmu yang mereka (pikir mereka) kuasai dan berharap semoga murid-murid yang mendengarkan dapat memahami ceramah mereka. Delivery matter and content matter are two very distinguish things, guys!
Cobalah kita lirik ke beberapa
negara maju di belahan bumi sebelah atas sana (abis kalau di peta, kan
tempat-tempat itu ada di bagian atas #hasildidikanyangsalah). Di beberapa
negara, untuk menjadi seorang guru bukanlah sebuah perkara yang mudah. Ada yang
mensyaratkan sekolah khusus bertahun-tahun bagi seseorang untuk dapat menjadi
guru, itu pun masih harus mengalami tahun-tahun percobaan terlebih dahulu. Tak
sedikit negara yang menghargai jasa guru dengan materi yang jauh lebih banyak
dari dokter atau pengacara. Di negara-negara itu, pendidikannya lebih baik dari
di negara kita. Kenapa? Karena, orang-orang yang dapat menjadi guru adalah
orang-orang pilihan, bukan mereka yang terbuang dan terpaksa. Guru-guru yang
baik ini tahu bagaimana caranya mengajar dan mendidik sehingga dapat
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk membentuk calon-calon pemimpin masa
depan, makanya pendidikan di sana jadi lebih baik.
Duh, jadi guru-guru Indonesia itu
jelek? Ya engga’ semuanya lah! Banyak ko guru-guru kita yang memang
memiliki passion untuk mendidik, tak peduli apapun latar belakang
pendidikan mereka. Sayangnya, orang-orang yang terpaksa jadi guru jumlahnya
lebih banyak lagi. Negara pun sudah mencoba mengatasi hal ini dengan mengadakan
berbagai program pelatihan dan sertifikasi, namun tetap saja kalau namanya
terpaksa ya susah. Mereka nyemplung jadi guru karena memang
diberikan jalan oleh negara lewat program PPG. Bahkan, para sarjana pendidikan
pun kerap masih harus menempuh program itu untuk menjadi guru. Seakan-akan
perkuliahan selama 4 tahun tidak bernilai jika dibandingkan dengan program yang
hanya 1 tahun itu. Betapa mudahnya jadi guru kan? Kalau dokter butuh 7 tahun,
guru hanya butuh 1 tahun! WOW
Lalu, kita harus bagaimana? Mudah
ko, hargailah guru! Hargai guru dengan tidak memperkenankan sembarang orang
untuk menjadi guru. Hargai guru dengan memberikan persyaratan yang pantas dan
ideal untuk menjadi seorang guru. Hargai guru dengan timbal balik yang setimpal
bagi jasa-jasa mereka. Hargai orang-orang yang sudah susah payah sekolah
keguruan untuk menjadi seorang guru, jangan berikan penjamin masa depan mereka
kepada orang-orang yang terpaksa menjadi guru. Saya yakin dan percaya, ketika
guru sudah sejajar dengan dokter, niscaya Indonesia akan jaya sepenuhnya. Hidup
guru ber-S.-Pd.!
Oke sekian ulasan saya tentang Guru ber-S.-bukan-Pd.?
Visam te iterum
^_^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar