Jika ada nasihat
untuk memilih pasangan hidup dengan cermat, saran senada harusnya berlaku dalam
memilih guide. Pemandu wisata bisa sangat memengaruhi kualitas sebuah
perjalanan, apalagi untuk jenis wisata sejarah, seperti Lobang Jepang di
Bukittinggi, Sumatra Barat.
Lorong masuk Lubang Jepang
Sebut saja siang itu saya sedang apes. Boro-boro mendapat
pemandu yang informatif, cerdas, ramah dan sabar meladeni pertanyaan. Saya
malah mendapat jatah guide tak sabaran yang buru-buru ingin merampungkan
tugasnya. Ujung-ujungnya, saya pun hanya bisa menggerutu tiada henti. Nama
guide itu? Saya sudah lupa.
Lubang Jepang atau kadang disebut Lobang Jepang adalah salah satu destinasi wisata utama di Bukittinggi. Lokasinya di kawasan Taman Panorama, tak jauh dari pusat Kota Bukittinggi. Ini adalah tempat untuk mendapatkan pemandangan terbaik ke Ngarai Sianok. Setelah membayar tiket masuk senilai Rp10.000, saya dan adik saya Nike, memutuskan memakai jasa guide untuk menemani masuk ke Lubang Jepang. Sesuai urutan, kami mendapat jatah pemandu yang masih muda, mungkin umurnya belum sampai 27 tahun. Sebenarnya sejak awal saya memang sudah kurang simpatik dengan mas pemandu ini. Ketika kami memilih melihat-lihat dulu pemandangan Ngarai Sianok dari gardu pandang Panorama, si mas pemandu sudah kelihatan tidak sabar.
Lubang Jepang atau kadang disebut Lobang Jepang adalah salah satu destinasi wisata utama di Bukittinggi. Lokasinya di kawasan Taman Panorama, tak jauh dari pusat Kota Bukittinggi. Ini adalah tempat untuk mendapatkan pemandangan terbaik ke Ngarai Sianok. Setelah membayar tiket masuk senilai Rp10.000, saya dan adik saya Nike, memutuskan memakai jasa guide untuk menemani masuk ke Lubang Jepang. Sesuai urutan, kami mendapat jatah pemandu yang masih muda, mungkin umurnya belum sampai 27 tahun. Sebenarnya sejak awal saya memang sudah kurang simpatik dengan mas pemandu ini. Ketika kami memilih melihat-lihat dulu pemandangan Ngarai Sianok dari gardu pandang Panorama, si mas pemandu sudah kelihatan tidak sabar.

Nah, setelah puas
mengabadikan gambar Ngarai Sianok, kami memulai petualangan di Lubang Jepang.
Siang itu pengunjung cukup ramai. Tidak heran karena pada waktu itu bertepatan
dengan liburan sekolah. Lubang Jepang merupakan bunker peninggalan jaman
penjajahan Jepang di Nusantara. Konon tempat itu dijadikan basis pertahanan
Jepang pada saat perang dunia kedua. Jadi, Lubang Jepang didirikan pada periode
1942-1945. Pekerjanya adalah para tahanan pribumi, yang menurut cerita berasal
dari luar Sumatra, seperti Jawa dan Sulawesi. Pemilihan tenaga kerja ini bukan
tanpa alasan. Jepang sengaja mengambil tenaga dari jauh supaya proyek ini
terjaga kerahasiannya. Seiring waktu, bunker pertahanan itu berkembang jadi tempat
pengintaian dan juga pembantaian tahanan!
Pintu masuk dari
Taman Panorama sebenarnya hanya salah satu jalan menuju Lubang Jepang. Ada dua
pintu lainnya yaitu dari Jalan Ngarai Sianok dan di samping istana Bung Hatta.
Namun hanya pintu di Taman Panorama yang terbuka untuk umum. Pada saat
ditemukan (entah tahun berapa), diameter pintu masuk ke Lubang Jepang hanya 20
cm. Pemerintah kota Bukittinggi kemudian resmi membuka Lubang Jepang sebagai
wisata sejarah pada 1984. Setelah dipugar, lebar pintu masuk dan lorongnya
menjadi sekitar dua meter, sedangkan tingginya tiga meter, cukup nyaman untuk
dilewati.
Sembari berjalan
cepat, pemandu membawa kami menuruni Lubang Jepang. Anak tangga yang harus kami
turuni sangat banyak, lebih dari 100 buah. Konon jarang yang hitungannya sama.
Tapi saat itu memang tak berniat menghitung, jadi ya jalan lempeng saja… hehehe.
Puluhan atau seratusan anak tangga itu akan membawa kami sampai di kedalaman 40
meter. Dan yang menyebalkan, mas pemandu kami berjalan terlalu cepat dan meninggalkan
kami! Dia baru berhenti dan menunggu kami setelah tiba di lorong utama.
Menurut penjelasan
mas pemandu, lorong bawah tanah di Lubang Jepang ini panjangnya 1,47 km.
Terdapat 21 lorong-lorong kecil yang memiliki berbagai macam fungsi. Ada bilik
serdadu militer, ruang rapat, lorong penyimpanan amunisi, ruang makan romusa,
dapur penjara, ruang sidang, ruang penyiksaan, penjara, tempat pengintaian,
tempat penyegapan dan pintu pelarian. Masing-masing tempat telah diberi papan
nama penjelasan. Kadang pemandu kami mau menjelaskan, tapi lagi-lagi dengan
seenak hati. Huh!
Penerangan di dalam
lorong cukup memadai, meskipun suasana masih tetap remang-remang. Lampu-lampu
neon dipasang di berbagai sudut. Lorong ini mengingatkan saya dengan Chu Chi
Tunnel di Vietnam. Namun lorong di Lubang Jepang memang lebih lapang dan
tinggi. Menurut mas pemandu, dinding terowongan masih dipertahankan
keasliannya. Konon terbuat dari pasir yang akan semakin kuat jika dicampur air.
Dinding batunya bersekat-sekat untuk meredam suara agar tidak berjalan keluar.
Inilah bentuk meja dapur untuk
pembantaian
Lubang untuk membuang mayat
saya
Suasana di dalam
terowongan awalnya terasa biasa-biasa saja. Apalagi di beberapa bagian,
sentuhan modernitas sudah sangat terasa. Namun, di sebuah lorong utama yang
bertuliskan “Pintu Pelarian” aura suram mulai terasa. Di belakang pintu
tersebut ada cahaya masuk yang berasal dari lubang berpagar. Nah, di sebelah
kanan lorong tersebut ada lorong lain yang berujung ke penjara. Itu adalah
tempat memenjarakan para pekerja yang membangkang atau tawanan lain. Kemudian
di sisi kanan penjara terdapat sebuah ruangan bertuliskan dapur.
Semula saya mengira
dapur tersebut bermakna harfiah sebagai tempat untuk memasak. Ternyata saya
salah. Pemandu kami menuturkan, dapur tersebut sejatinya adalah tempat
pembantaian! Ya, pembantaian itu dilakukan di meja batu yang terletak di pojok
ruangan. Saya langsung bergidik ketika memandangi meja tersebut dan
membayangkan kejamnya pembantaian yang pernah terjadi di masa lampau. Setelah
dibantai korban akan dibuang melalui sebuah lubang kecil di pojok ruangan.
Menurut mas pemandu, lubang itu berujung ke Ngarai Sianok sehingga jasad korban
akan sulit ditemukan. Mengerikan!
Cerita seram itu
masih melekat di benak kami ketika kami berjalan menuju pintu keluar. Pemandu
kami semakin tak berselera untuk bercerita. Saya hanya bisa menatap iri
rombongan lain yang mendapat pemandu yang ramah dan tak henti memberi
penjelasan menarik. Nyesel juga merogoh kocek sebesar Rp50.000 untuk pemandu
asal-asalan seperti itu. Tapi mau bagaimana lagi?
Sampai di pintu
keluar, kami disambut hujan deras. Terpaksa kami berteduh dulu. Sembari menatap
rintik hujan, saya mencoba mengenyahkan bayangan seram tentang berbagai
peristiwa yang terjadi di Lubang Jepang pada masa lampau. Berbagai cerita
mistis tentang Lubang Jepang konon juga terus bermunculan. Cerita masa lalu
Lubang Jepang memang suram. Tapi, sejarah tetaplah sejarah. Kita harus bisa
menerimanya sebagai bagian tak terpisahkan dari negeri ini. Seperti saya juga
harus menerima dengan lapang dada tingkah guide kami yang asal-asalan itu.